Annas Firmansyah
(Ketua Bidang Tabligh PK IMM AR Fakhruddin)
“Mengapa manusia harus berfikir?” Satu pertanyaan yang ada dalam benak manusia, yang mana dengan adanya pertanyaan tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa manusia itu sendiri juga sedang berfikir ketika memunculkan pertanyaan tersebut. Bila mana kita mencari dalam al-Quran, pertanyaan tersebut telah terjawab melalui firman Allah SWT dalam QS. Ali Imran ayat 190-191 yang mana kita diperintahkan untuk berfikir dan berdzikir. Lebih jauh bahkan Allah menyatakan bahwa mereka yang tidak mau menggunakan akal pikirannya laksana binatang yang melata di muka bumi ini (QS. Al-Anfal: 22).
Maka, berfikir merupakan salah satu bentuk rasa syukur kita kepada Allah, karena kita (manusia) telah dianugerahi akal pikiran yang membedakan kita dengan binatang. Pun Allah juga memperingatkan bagi orang yang tidak mempergunakan akalnya, pada penggalan ayat wa yaj’alur rijsa ‘alal ladzina la ya’qilun (dan Allah SWT akan menjadikan (mendatangkan) keburukan kepada orang-orang yang tak mempergunakan akalnya). Menariknya, manusia sendiri banyak yang tidak mempergunakan akalnya dengan baik dan hal itu juga telah Allah firmankan dalam penggalan ayat walakinna aktsarahum la ya’qilun (akan tetapi kebanyakan mereka (manusia) tidak menggunakan akalnya (dengan sebaiknya)).
Dengan berfikir pula berarti kita menjalankan perintah wahyu yang pertama kali diturunkan, karena perintah iqra’ bukan hanya sekedar untuk membaca saja, namun juga untuk memaksimalkan fungsi akal, yaitu dengan berfikir. Tak hanya menyoal tentang ayat dan perintah melalui firman Allah saja, namun juga berfikir setidaknya mampu mendatangkan ilmu kepada kita, sekurangnya dapat memberikan pengetahuan yang ditransfer kedalam otak kita dan direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun bukan berarti semua yang berakal mempergunakan akalnya dengan baik, sebagaimana firman Allah diatas, dan bukan berarti semua yang berilmu dapat mendatangkan kebaikan dengan ilmunya. Prof Quraish Shihab menafsirkan dalam tafsir Al-Misbah mengenai “akal-berakal-berilmu” sebagai berikut:
“Pengetahuan, pemahaman yang menghantarkan kepada pengikatan diri kepada hukum Allah SWT dan Rasul-Nya Saw”. Jadi tidak lantas semua yang ahli ilmu dapat di masukan dalam kategori ya’qilun (orang yang mempergunakan akalnya dengan baik). Ahli ilmu yang berakal dan mempergunakan akalnya dengan baik ialah mereka yang sekaligus menggunakan ilmu dan pengetahuannya untuk semakin tunduk patuh kepada Allah SWT dan ajaran Rasul-Nya Saw.
Berilmu yang demikian (ya’qilun) akan menjadikannya hidup. Ilustrasi analogisnya seperti yang terdapat dalam ayat-ayat tentang matinya bumi dan kemudian menjadi hidup setelah diturunkan hujan oleh Allah SWT. Ketika bumi telah hidup, tumbuhlah darinya tumbuhan-tumbuhan dan tanaman-tanaman yang bagus pertumbuhannya. Maka ilmu pada analogis ini bagaikan hujan yang menyirami pikiran dan hati yang kering dan mati, hingga memungkinkannya hidup dan tumbuh dengan baik.
Jadi sebagai manusia, sebagai insan yang dianugerahi akal, sebagai umat Islam, sebagai mahasiswa, sebagai kaum intelektual dan sebagai apapun diri kita ini, selama kita masih sadar bahwa kita adalah manusia, maka suatu keniscayaan bagi kita untuk tetap dan terus berfikir. Dan sudah sepantasnya bila mana manusia harus berfikir (memaksimalkan fungsi akal dengan baik), berdzikir (memaksimalkan fungsi hati untuk mendekatkan diri pada Allah), dan bertafakur (melakukan perenungan, agar akal pikiran serta ilmu dan pengetahuan kita mendatangkan kebaikan).
Wallahu a’lam.
