Setiap bulan ramadan, hampir di setiap masjid pasti mengadakan kegiatan kultum tarawih, kultum subuh, taddarusan dan pengajian-pengajian poso-nan lainnya. Kajian dan pengajian poso-nan biasanya telah diisi oleh ustadz-ustadz yang berkompeten dalam bidangnya, peserta taddarusan sehabis tarawih bergabung antara jamaah muda dan tua yang saling menyimak satu sama lain, ada pula khataman al-Quran atau biasa dalam bahasa santri sebagai muqoddaman yang suaranya dialirkan ke speaker masjid.
Setiap kali ramadan tiba, acapkali menjadi tempat bagi penceramah-penceramah baru untuk tampil bahkan bersliweran ke masjid sana masjid sini untuk mengisi pengajian baik menjelang berbuka puasa ataupun kultum tarawih.
Kewajiban Berdakwah
Ada betulnya ungkapan menjadi seorang dai tidaklah harus lulusan pesantren, madrasah atau kampus Islam. Sebab berdakwah merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim di seluruh dunia. Tertuang dalam Ali Imran (3) ayat 104, kita memang diperintahkan untuk menyeru kepada kebaikan, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Lebih populer lagi hadits riwayat Imam Bukhori yang sering menjadi dasar untuk berdakwah yaitu balighuu ‘annii walau aayah (sampaikanlah dariku walau satu ayat). Pengertian dakwah itu sendiri berarti menyeru, mengajak. Bentuk masdar dari fiil madhi-nya da’aa (da’aa-yad’uu-da’waatan).
Dilihat dari pengertiannya, dakwah tak melulu soal mimbar, khutbah, ceramah, atau kultum. Menyeru atau mengajak kepada kebaikan bisa dilakukan dengan berbagai cara pendekatan terhadap objek dakwah itu sendiri. Sebagai subjek dakwah, seorang pendakwah pun tak harus menjadi seorang khatib atau mubaligh. Ia bisa bertransformasi menjadi apa saja dalam bidang apa saja yang menjadi kebutuhan maupun konsumsi sehari-hari umat, tentu untuk mengajak kepada kebaikan dan saling mengingatkan.
Dzawin Nur Ikram misalnya, seorang stand up comedi-an (komika) lulusan pesantren yang selalu menyelipkan pesan moral dalam show-nya atau Ahmad Fuadi yang sukses berdakwah melalui menulis novel (“Negeri 5 Menara” menjadi salah satu Best Seller-nya). Tak hanya itu, musisi-musisi seperti Bang Haji Rhoma Irama, Opick, Wali Band juga sukses merambah dunia musik dengan membawa pesan kebaikan disetiap lirik lagunya.
Dari sini, momentum ramadan yang banyak dimanfaatkan untuk memaksimalkan potensi dakwah harus dipahami dengan betul. Dakwah tak hanya bagi para mubaligh atau penceramah. Dakwah bersifat universal dalam segala bidang. Sebab itulah Islam diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamiin. Kacaunya, jika dakwah hanya dipahami sebatas ceramah di mimbar atau pengajian, lalu siapa yang mengajak mereka yang di jalan-jalan, mereka yang sudah kadung nyemplung pada dunia gelap? Sedangkan para pendakwah sibuk mengurus kalkulasi pahala dan mengkapling surga bersama jamaahnya sendiri.
Dakwah Intelektual Profetik
Sebagai salah satu instrumen penting dalam agama, para cendikiawan atau kaum intelektual mempunyai tugas untuk mencerahkan dengan ilmu pengetahuan dari sudut pandang teologis. Atau dalam bahasanya Kuntowijoyo seringkali disebut sebagai tugas seorang Intelektual Profetik. Pun demikian dengan Ali Syari’ati, para kaum terdidik ini mempunyai tugas sebagai seorang Rausyan Fikr atau orang yang tercerahkan. Lebih spesifik kaum cendikia adalah seorang nabi sosial yang memiliki tanggung jawab besar dalam menuntun umat dengan ilmu pengetahuan dan mengentaskan persoalan-persoalan sosial.
Dari penjelasan tersebut dapat kita tarik akarnya bahwa dakwahnya seorang Intelektual Profetik adalah dakwah sosial, dengan penelitian, pengabdian dan pendidikan yang tentu mencerahkan dan dapat merubah kondisi sosial pada kelompok masyarakat tertentu dan umat Islam pada umumnya.
Selain itu, kita harus faham betul untuk jangan telalu bernafsu mengomentari hal-hal yang bersifat khilafiyah atau perbedaan pandangan apalagi merasa paling benar dan menyalahkan pendapat yang lain. Hal tersebut sangatlah berbahaya karena kebenaran manusia tidaklah absolut, perlu otoritas keagamaan, referensi yang luas serta sanad keilmuan yang jelas untuk mengeluarkan sebuah pendapat apalagi fatwa, agar tidak berakhir pada kesesatan. Tidak selalu orang yang pandai bicara dan dianggap “ustadz” lantas bebas berbicara soal agama.
Dari fenomena dan pengertian dakwah di atas sangat penting bagi para pendakwah untuk mengetahui kapasitasnya sendiri guna menentukan sasaran dakwahnya dan metode dakwahnya. Itulah pentingnya belajar sebagaimana perintah “tholabul ‘ilmi fariidhotun ‘ala kulli muslimin wal muslimatin”. Iqro’ Milea! – Kata Dilan./Muh. M. Annas Firmansyah
