Halo IMMawan/ti Selamat Datang!. Informasi Kami.
Postingan

Rindu yang Tersisa di Jalanan: Luka Bangsa yang Tak Kunjung Sembuh

"Rindu yang Tersisa di Jalanan: Luka Bangsa yang Tak Kunjung Sembuh"
Oleh: Andifa Nurasyam Zuhdi

Jalanan selalu jadi cermin bangsa. Di sana, kita melihat pemerintah yang tuli, rakyat yang marah, dan mahasiswa yang masih mencoba menyulam logika. Jalanan tak pernah benar-benar sepi; ia hanya menunggu saat yang tepat untuk kembali berteriak. Dan setiap kali teriakan itu pecah, ada rindu yang ikut tumpah rindu pada negeri yang adil, rindu pada janji yang tidak basi, rindu pada suara rakyat yang tidak dipelintir demi kepentingan segelintir.

Kata mereka, semua atas nama rakyat. Tapi lucu, rakyat yang mana? Apakah rakyat yang dipajaki hingga keringatnya menetes asin, atau rakyat yang namanya hanya dicetak besar di spanduk kampanye? Atas nama rakyat, undang-undang dilahirkan; atas nama rakyat, kebijakan diteken; atas nama rakyat, kekuasaan dirayakan. Namun ketika rakyat menjerit, mereka menjelma bisu. Ironis, rakyat hanya sakral ketika di bilik suara, tapi segera jadi beban setelah kotak suara tertutup.

Trias politica, yang katanya pilar demokrasi, hari ini lebih mirip tiga serigala lapar yang berburu kambing yang sama: rakyat. Eksekutif menjanjikan keadilan, legislatif mengaku mewakili, yudikatif berlagak menegakkan hukum. Tapi di balik tirai, mereka duduk di meja makan yang sama, mengiris daging rakyat menjadi potongan-potongan kuota, pajak, dan utang. Mereka pura-pura saling mengawasi, padahal sesungguhnya bersulang dengan gelas berisi air mata orang miskin.

Demokrasi kita akhirnya tampak seperti pesta ulang tahun yang meriah. Ada kue, ada lilin, ada tepuk tangan. Bedanya, yang diundang hanya segelintir elit, sementara rakyat disuruh menonton dari luar jendela. Dan sialnya, rakyat masih diminta bersorak, masih diminta berterima kasih.
Namun tunggu sebentar. Jangan buru-buru menganggap rakyat selalu benar. Sebab sering kali, rakyat pun menjelma dongo. Mereka berlari ke jalanan, membakar ban, memekikkan kata-kata bijak yang mereka pinjam dari poster, lalu pulang dengan tangan kosong. Mereka merasa pahlawan, padahal kadang hanya pion dalam permainan elit.

Betapa getir melihat rakyat yang paling garang mengutuk pemerintah, ternyata adalah orang yang paling cepat menjual suaranya di bilik pemilu untuk sekantong sembako. Betapa ironis, mereka yang lantang menuntut keadilan, ternyata malas membaca satu pun pasal dari undang-undang yang mereka gugat. Betapa menyedihkan, mereka yang merasa gagah berteriak “atas nama rakyat,” sering kali tak tahu mereka hanya sedang jadi figuran dalam naskah politik yang lebih besar.

Rakyat anarkis yang mengira dirinya bijak sebenarnya hanya membuat luka baru. Mereka mengira sudah berjuang, padahal hanya menambah asap dan amarah. Mereka lupa, revolusi bukan sekadar teriakan, tapi juga pemikiran. Dan ketika pemikiran itu kosong, yang tersisa hanyalah keributan.

Lalu di mana mahasiswa? Kami ada di tengah, di antara pemerintah yang sok bijak namun pengkhianat, dan rakyat yang sok gagah namun kosong. Kami tidak mau jadi corong pemerintah, tapi juga tidak mau jadi pion rakyat yang buta arah. Kami memilih jadi cermin. Cermin yang jujur memantulkan wajah asli bangsa ini: pemerintah yang lapar kekuasaan, rakyat yang malas berpikir, dan negeri yang terjebak dalam siklus luka yang sama. Mahasiswa selalu dituduh utopis. Katanya, terlalu banyak mimpi. Padahal yang utopis justru pemerintah yang bermimpi bisa terus menipu rakyat dengan kalimat basi “atas nama rakyat.” Dan yang utopis pula adalah rakyat yang bermimpi bisa bebas dari penderitaan tanpa mau mengubah kebodohannya sendiri. Kami berdiri di tengah, bukan karena netral, tapi karena kami menolak jadi dungu seperti keduanya.

Bangsa ini sedang terluka. Luka karena pemerintah yang mengkhianati mandat, luka karena rakyat yang mudah dibodohi, luka karena mahasiswa yang jumlahnya kian sedikit untuk bersuara. Luka ini tak akan sembuh kalau penguasa terus menjual negeri demi kursi, dan tak akan sembuh pula kalau rakyat terus membiarkan dirinya jadi mainan.

Wahai pemerintah, berhentilah memakai mantra basi “atas nama rakyat” jika rakyat hanya jadi alas kaki kekuasaanmu. Dan wahai rakyat, berhentilah merasa gagah di jalanan jika otakmu kosong dan suaramu mudah dibeli. Negeri ini tidak butuh lebih banyak teriakan, tapi lebih banyak pikiran.
Sejarah akan mencatat: pemerintah pernah tuli, rakyat pernah dungu, dan mahasiswa pernah berdiri di antara keduanya, membawa cermin yang dipenuhi retakan. Retakan itu bukan tanda pecah, melainkan tanda luka yang harus diingat.

Dan kelak, ketika bangsa ini benar-benar berani bercermin, mungkin mereka akan sadar: negeri ini tidak kekurangan teriakan, yang kurang hanya pendengaran. Tidak kekurangan janji, yang hilang hanya kejujuran. Tidak kekurangan pahlawan jalanan, yang langka hanyalah pikiran yang jernih.

Sampai hari itu tiba, rindu yang tersisa di jalanan akan tetap menetes. Bukan rindu pada seorang pemimpin, bukan rindu pada seorang pahlawan, tapi rindu pada bangsa yang mau benar-benar dewasa.

Posting Komentar

Akses seluruh artikel dengan mudah melalui smartphone!