Oleh:
Ummul Qoyimah
(Sekbid Hikmah PK IMM Kuntowijoyo)
Siapa yang tak kenal dengan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah? Semua orang pasti sudah familiar dengan nama itu. IMM Merupakan sebuah organisasi gerakan mahasiswa islam dan juga organisasi ortonom Muhammadiyah. Sejarah terbentuknya IMM memiliki banyak polemik dan juga proses yang panjang. Tujuan akhir kehadiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah untuk pertama kalinya ialah membentuk akademisi Islam dalam rangka melaksanakan tujuan Muhammadiyah. Sedangkan aktifitas IMM pada awal kehadirannya yang paling menonjol ialah kegiatan keagamaan dan pengkaderan, sehingga seringkali IMM pada awal kelahirannya disebut sebagai Kelompok Pengajian Mahasiswa Yogya (Farid Fathoni, 1990: 102).
Budayawan, sejarahwan dan juga cendikiawan kebanggaan Indonesia yang bisa menjadi panutan untuk mengembangkan IMM pada era sekarang ini. Pemikiran-pemikiran kritis yang di tuangkan pada tulisan menjadi sebuah kenangan tersendiri yang dapat di contoh oleh kader-kader IMM. Ia adalah Kuntowijoyo, biasa di panggil Pak Kunto.
Kuntowijoyo lahir di Desa Ngawonggo, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten pada 18 September 1943. Pendidikan SD dan SMP ditempuhnya di Sekolah Rakyat Negeri Klaten pada tahun 1956 dan SMP Negeri Klaten pada tahun 1959, lalu melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri Solo pada tahun 1962. Kemudian, melanjutkan studinya di Fakultas Sastra UGM Yogyakarta (1969).
Bukan tanpa alasan Pak Kunto melanjutkan studinya di Fakultas Sastra, karena memang Kuntowijoyo dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah dan dunia seni. Dua lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhannya semasa kecil dan remaja. Semasa kuliah, dia sudah akrab dengan dunia seni dan teater, sehingga dia dapat bergaul dengan beberapa seniman dan budayawan yang lain.
Minat belajar sejarah sudah tumbuh ketika ia masih kecil. Ia mengagumi guru mengajinya, yang mengajarkan peristiwa tarikh (Sejarah Islam) secara dramatik. Sehingga ia merasa terbawa hadir dalam sejarah tersebut. Sejak saat itulah ia tertarik dengan sejarah. Bakat menulisnya juga tumbuh ketika ia duduk di bangku madrasah ibtidaiyah. Ia sangat di dukung oleh gurunya, untuk selalu mengembangkan gairah menulisnya. Dia mengasah kemampuan menulisnya dengan terus menulis. Baginya, cara belajar menulis adalah banyak membaca dan menulis. Kunto, kemudian melahirkan sebuah novel berjudul Kereta Api yang Berangkan Pagi Hari, dimuat di Harian Jihad sebagai cerita bersambung (Sang Pencerah, 2016).
Karya-karya Kuntowijoyo terus mengalir hingga menjelang akhir hayatnya. Lebih dari 50 buku telah di tulisnya. Banyak pula cerpen dan kolom-kolomnya di berbagai media. Cerita pendeknya, Dilarang Mencintai Bunga-bunga (1968) memenangkan penghargaan pertama dari sebuah majalah sastra (Sang Pencerah, 2016). Karya-karya Intelektualnya antara lain Demokrasi dan Budaya (1994), Pengantar Ilmu Sejarah (1995), Metodologi Sejarah (1994) dan Radikalisme Petani (1993), Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991) dan Identitas Politik Umat Islam, terbitan Mizan, Bandung pada tahun 1997.
Kuntowijoyo menikah dengan Susilaningsih pada 8 November 1969. Sejak tahun 1985, keluarga ini menempati rumah yang berada di Jalan Ampel Gading 429, Condong Catur, Sleman, Yogyakarta. Rumahnya di penuhi dengan tumpukan buku dan juga piala-piala yang berhasil di raih oleh Kuntowijoyo. Pada saat menonton Televisi dan juga ke mana pun perginya, ia selalu mengantongi sebuah note untuk mecatat ide-ide yang secara kebetulan muncul. Bahkan, novel karyanya yang berjudul Khotbah di Atas Bukit (1976) yang menjadi master piece-nya, ditulis di sela-sela waktu mengajar.
Hingga menjelang akhir hayat, Kuntowijoyo masih menulis. Bahkan ia bercerita ingin menulis buku tentang Muhammadiyah untuk menyambut muktamar. Namun, hal itu belum terlaksana, karen pada Selasa, 22 Februari 2005 pukul 16.00 dia menghembuskan nafas terakhirya.
Meskipun kiprah Kuntowijoyo di Muhammadiyah tidak sebanyak tokoh yang lain, namun Kuntowijoyo memiliki banyak pemikiran kritis yang patut dicontoh oleh kader-kader IMM guna mengembangkan pemikiran yang kritis pula. Mencari ide-ide di sela kesibukan dan juga meluangkan waktu untuk mengasah kemampuan menulisnya sehingga ia dapat membuat karya-karya sastra dan karya intelektualnya. Menjadi tantangan besar bagi kader-kader IMM untuk meniru maupun menerapkan apa yang dilakukan oleh Kuntowijoyo ini, berkontribusi kepada Muhammadiyah.
Hidup adalah bunga-bunga. Aku dan kau salah satu bunga. Kita adalah dua tangkai anggrek. Bunga indah bagi diri sendiri dan yang memandangnya. Ia setia dengan memberikan keindahan. Ia lahir untuk membuat dunia indah. Tetaplah sekuntum bunga, dan dunia akan berkembang dalam keindahan di depan hidungmu. Tersenyumlah seperti bunga. Tersenyumlah! (Kuntowijoyo, Dilarang Mencintai Bunga-bunga: Kumpulan Cerpen)