Oleh :
Siti Muflikhah
Ketua Bidang IMMawati
PC IMM Ahmad Dahlan Kota Surakarta
Jejak Kelam Penegakkan Hukum Pada Kasus Isu Sum Kuning diskusi senin lalu sekitar pukul 19.30 yang disampaikan oleh salah satu aktivis perempuan dan anak dari lulusan Universitas Gadjah Mada tepatnya Fakultas Hukum Prasasti Nugrahaning Gusti S.H salah satu aktivis perempuan dan anak sekaligus founder Konsultasi Hukum Gratis @rumahgardenia dan dimoderatori oleh Ketua Bidang IMMawati PC IMM Ahmad Dahlan Kota Surakarta Siti Muflikhah yang juga salah satu founder @maroonku.bergerak serta pengiat Komunitas perempuan dan HAM memberikan pemaparan yang sangat jelas terhadap jejak langkah kehidupan yang dijalani oleh Sum Kuning/Sumardjinem. Siapakah Sum Kuning itu? Sumardjinem atau yang disanter disebut dengan julukan Sum Kuning, pada tahun 1970 merupakan seorang gadis yang berumur 17 tahun yang berprofesi sebagai pejual telur di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sum Kuning merupakan koorban penculikan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh beberapa pemuda yang sampai saat kasus tersebut masih menjadi misteri. Selain itu, Sum Kuning merupakan korban kriminalisasi atas kasus penculikan dan pemerkosaan dengan tuduhan memberikan laporan palsu kepada polisi.
Kronologi kasus Sum Kuning Pada tanggal 21 September 1970 pukul 17.00, Sumardjinem hendak pulang ke rumah selepas menjalankan dagangan telur dari daerah Ngampilan. Bus kota menuju Godean sudah tidak muncul lagi dan membuat Sumardjinem terpaksa berjalan pulang ke rumahnya. Saat tiba di sebelah timur Asrama Polisi Pathuk, ada sebuah mobil yang hampir menyerempet dan berhenti di dekat Sumardjinem. Beberapa pemuda turun dari mobil tersebut dan menarik paksa Sumardjinem untuk masuk ke mobil. Di dalam mobil, Sumardjinem diancam dengan menempelkan pisau belati di lehernya. Sumardjinem dibius nhyaris tidak sadarkan diri dan diperkosa sebanyak 3 kali dan uang hasil dagangan Sumardjinem juga dirampas. Setelah diperkosa, Sumardjinem dibuang di tepi jalanan Wates-Purworejo.
Pada tangga 22 September 1970 Sumardjinem berjuang keras berjalan menuju ke arah Yogyakarta dengan kondisi lemah. Berbekal sisa uang Rp.100.000, Sumardjinem menaiki becak menuju ke rumah Nyonya Sutardi yang merupakan tetanggannya. Dengan kondisi kaki dan kainnya berlumuran darah, Sumardjinem menangis hingga tetangga Nyonya Sutardi yang merupkan seorang wartawan yakni Tut Sugijarto mendengarnya dan pukul 06.00, Tut Sugijarto menghubungi rekan wartawan bernama Iman Sutrisno yang bekerja di Kedaulatan Rakyat. Imam Sutrisn membawa Sumardjinem ke RS Bethesda, dan hasil visum menyatakan Sumardjinem mengalami Pemerkosaan.
Perjalanan Peneggkan Kasus Sum Kuning yakni masyarakat dibuat gempar seolah kasus yang menimpa Sumardjinem, karena pada saat berita mengenai hal tersebut sudah tersebar kemana-mana. Pada tahun 1970, orang yang memiliki mobil di Daerah Yogyakarta tidaklah banyak., sehingga muncul banyak spekulasi bahwa pelaku yang melakukan pemerkosaan adalah tokoh masyarakat. Sumardjinem yang melaporkan kejadian pemerkosaan yang menimpanya, justru di tuduh oleh Polisi bahwa ia telah melakukan kebohongan dengan menagarang cerita dan memnerikan laporan palsu sehingga Sumardjinem disidangkan di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Kriminalisasi tersebut tidak cukup hanya tuduhan membuat laporan palsu, namun dalam persidangan polisi mendapatkan saksi seorang tukang bakso bernama Trimo yang di skenario bahwa yang memperkosa Sumardjinem.
Dalam proses penyidikan, Sumardjinemyang ditahan oleh kepolisin dipaksa mengakui telah diperkosa oleh Trimo. Dalam proses tersbut juga Sumardjinem diintimidasi, tidak diberi makan, diancam disetrum, diancam dipenjarakan, dan ditelanjangi untuk dicari lambang Palu dan Arit karena dituduh bagian dari Gerwani ( Gerakan Wanita Indonesia Milik PKI ). Saat dibawa dipersidangan, Trimojuga sudah lebam-lebam karena dipaksa mengakui perbuatan yang tidak dilakukan. Kasus yang mengkriminalisasi Sumardjinem tentu saja membuat geger masyarakat, hingga akhirnya Sumardjinem dibebaskan oleh Hakim bernama Nyonya Lamijah Moeljarto yang mana pada ssat itu mmbeberkan pesakitan yang diterima oleh Sumardjinem saat menjalani proses peyidikan. Jendral Hoegeng, yang saat ituu menjabat sebagai Kapolri memberikan pernyataan akan menindak tegas pelaku pemerkosaan Sumardjinem lengser dari jabatan kapolri.
Kasus Sumardijem tetap bergulir hingga Presiden Soeharto turun tangan dengan memberikan instruksi bahwa kasus ini akan ditangani oleh Kambamtib TNI AD. Komkamtib berhasil menciduk 11 tersangka yang menurut keterangan kesebelas tersangka tersebut bukanlah pelaku yang sebenarnya. Jurnalis yang pada saat itu berusaha membuktikan kebenaran kasus Sumardjinem diciduk oleh aparat. Kasus Sumardjinem bergulir hingga tahun 1973 dengan total 39 kali persidangan, dengan putusan Hakim bahwa pidana penjara 4,5 tahun bagi terdakwa bernama Henry ( Mahasiswa, 20 ) dan Slamet ( Penjual Sate, 24 ). Pada bagian putusan Hakim yang menjelaskan mengenai jalannya persidangan, saksi dan kronologi yang terjadi sangat berbeda dengan keterangan kesaksian Sumardjinem pada wartawan Imam Sutrisno saat itu sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa pelaku pemerkosaan yang sebenarnya tidak pernah diadili.
Kejanggalan Penegakkan Hukum Kasus Sumardjinem atau Sum Kuning Tuduhan sebagai anggota Gerwani yang membuat laporan palsu untuk menyerang kehormatan tokoh masyarakat di Yogyakarta, turunnya intruksi dari Presiden Soeharto bahwa kasus Sumardjinem akan ditangani oleh Komkamtib TNI AD. Lengesernya Kapolri saat itu yakni Jendral Hoegeng setelah memberikan pernyataan akan menindak tegas pelaku pemerkosaan Sumardjinem, keterangan saksi dan kronologi kasus yang disampaikan dalam persidangan berbeda dengan yang disampaikan Sumardjinem pada tangga 22 September 1970 kepada wartawan Imam Sutrisno, terdakwa bernama Henry seorang mahasiswa dan Slamet disinyalir adalah korban skenario yang dilakukan oleh penegak hukum saat ini.
Selanjutnya adalah bagaimana Sum Kuning memiliki jejak yang kelam, kasus yang terjadi pada Sum Kuning merupakan satu dari sekian kasus pemerkosaan pada era order baru yang melakukan kriminalisasi pada korban dan membuat korban menjadi pelaku. Pelaku yang sebenarnya bebas dari hukum karena memiliki kekuatan untuk menghindari hukum bahkan membuat presiden turun tangan saat itu. Adanya skenario yang telah ditetapkan dalam persidangan kasus Sumardjinem hingga membuat kronologi dan fakta-fakta sebenarnya menjadi kabur digantikan keterangan-keterangan baru sesuai skenario. Sumardjinem, gadis penjual telur tidak mampu mendapatkan keadilan yang sebenarnya dihadapan hukum. Terdapat yang dihukum merupakan merupakan korban atas skenario untuk menghindarkan pelaku sebenarnya dari jerat pidana.
Komparasi Penegakkan Hukum kasus Sum Kuning dengan Kasus Pemerkosaan saat ini. Kasus pemerkosaan di Indonesia hampir selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan menurut survei terdapat hamir 93% kasus pemerkosaan yang ada di Indonesia tidak dilaporkan. Hal tersebut tentu menjadi PR bagi pemerintah, LSM dan masyarakat dalam menawarkan upaya baik melalui tindak preventif maupun tidak represif untuk memberikan perlindungan kepada korban maupun orang yang rawan menjadi korban.
Penegakkan Hukum pada kasus Sum Kuning tentu mejadi luka bahkan pengalaman yang sangat buruk bagi semua orang yang masih memiliki hati nurani. Kasus Sum Kuning seakan menjadi tamparan keras bagi masyarakat saati itu bahwa hukum tidak memberikan perlindungan kepada orang yang seharusnya mendapatkan keadilan. Justru Kekuasaan, kedudukan yang tinggi dan Kekayaan seakan membutakan nurani mereka yang sebetulnay mengetahui kebenaran pada peristiwa itu.
Penanganan Kasus Pemerkosaan di Indonesia saat ini telah berkembang jauh dari sebelumnya meskipun masih terdapat kekurangan di beberapa bagian. Banyaknya LSM dan masyarakat yang memiliki konsentrasi terdapat kasus pemerkosaan membuahkan terciptanhya beberapa bantuan bagi korban pemerkosaan seperti bantuan perlindungan, bantuan lain dalam upaya pemulihan kondisi korban. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bahkan sebetulnya hanya tinggal menunggu di-Sah-kan. Meskipun masih terdapat pro dan kontra, lahirnya RUU PKS tersebut cukup memberikan angin segar kepada penegakkan hukum dengan kasus-kasus pencegahan kekerasan seksual di Indonesia. RUU tersebut merupakan bentuk upaya serius dari pemerintah dalam menenagani kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi.
Dalam mensukseskan sebuah peneggakan hukum sebenarnya dilatarbelangki dengan faktor-faktor tertentu seperti, Faktor hukum itu sendiri bagaimana kualitas Undang-Undang yang dihasilkan, faktor penegak hukum dan birokrasi, faktor sarana dan fasilitas, faktor masyarakat dan adanya faktor kebudayaan. Apabila faktor-faktor tersebut kita terapkan pada Kasus Sum Kuning dengan Kasus Pemerkosaan yang ada pada saat ini.