Halo IMMawan/ti Selamat Datang!. Informasi Kami.

Mengembalikan Marwah Ikatan

 

Musyawarah Daerah Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Jawa Tengah dalam hitungan hari akan segera terselenggara di Semarang. Ini adalah momentum yang sangat ditunggu-tunggu oleh para kader IMM Jawa Tengah yang siap “menggembirakan” Musyda. Memang IMM adalah salah satu ortom yang cukup istimewa di tubuh persyarikatan. Dikarenakan anggota dan kadernya yang merupakan mahasiswa atau dalam bahasa yang lebih keren “kaum intelektual” maka tidak heran setiap musyawarah baik dari tingkat komisariat sampai pusat acapkali terjadi perdebatan panjang, adu argumen, lempar pendapat, olah pikir sampai “olahraga” karena musyawarah yang mentok, buntu sebab tunggangan-tunggangan yang tidak bertanggung jawab di tubuh ikatan ini.

Menjelang musyda pun, berbagai isu saling menggelinding menjadi bola liar, baik itu isu buruk maupun menjatuhkan satu sama lain hingga klaim-klaim sepihak mengenai calon Formatur dan Ketua Umum yang ideal bagi ikatan ini seperti apa. Pada dasarnya semua kader yang mendapatkan amanah untuk menjadi struktur kepemimpinan dalam IMM adalah kader terbaik dari cabangnya masing-masing. Namun, apa yang seharusnya ada atau ideal pada para pimpinan dalam ikatan ini? Kenapa hari ini kita melihat kecenderungan para aktivis terkhusus IMM hanya mengakhiri karirnya pada lubang politik? Bahkan tidak sedikit yang kemudian dengan terang-terangan membawa nama ikatan untuk menjilat ke rumah partai atau bahkan kepada penguasa sekalipun sampai terjadi dualisme ikatan yang sangat memalukan! Bahkan adanya anggapan bahwa “karir” tertinggi sebagai kader adalah ketika dia sudah mendapatkan jabatan di struktur pemerintahan atau minimal menjadi komisaris.

Miris sungguh dilihat apalagi ketika ajang musyawarah dari tingkat akar rumput sampai pusat kita akan melihat begitu banyak fenomena yang tidak mencerminkan Tri Kompetensi Dasar IMM, apakah mereka lupa atau bahkan perlu kembali mengikuti DAD? Kita tidak bisa menutup mata bahwa bukan lagi pemandangan yang mengherankan ketika musyawarah dalam ikatan ini diwarnai dengan “bolos sholat”, tidak tertib administrasi, jenjang akademik yang tidak jelas, kasus pelecehan seksual oleh kader, istilah salam olahraga hingga kefasihan membaca al-Quran bukan lagi menjadi acuan utama atau pertimbangan dalam kita memilih calon pimpinan ikatan. Ini Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, sudah pasti kompetensi religiusitas harus dipertimbangkan. Akan sangat lucu dan menggelikan ketika seorang pimpinan dalam Ikatan ini tidak mengetahui apa itu mad thobi’i!

Pada hal-hal tertentu terkadang kita juga mendengar bahwa Calon Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang juga fokus pada karir akademiknya, mencoba dengan segala ikhtiar menyelesaikan jenjang akademiknya sampai tingkat yang lebih tinggi seperti doktoral misalnya, dianggap tidak akan mampu atau becus memimpin karena hanya akan fokus pada dunia akdemisnya. Anggapan yang dungu itu muncul selaras dengan munculnya mitos politik transaksional dan praktis dalam tubuh ikatan yang turut diaminkan oleh para “oknum” pimpinan maupun kader yang hanya mengambil keuntungan pribadi. Hei, ini “Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah” bung! Sudah sepatutnya dan sepantasnya kader yang diangkat menjadi pemimpin adalah mereka yang tertib ibadah, organisasi hingga akademik. Tertib ibadah melahirkan pemimpin yang santu pekertinya, tertib organisasi melahirkan pemimpin yang terstruktur pola kerjanya dan tertib akademik akan melahirkan pemimpin yang tajam pola pikirnya. Jangan pernah kita normalisasikan jika seorang aktivis yang masih kuliah pasti akan keteteran dengan jenjang akademiknya atau harus mengorbankan salah satu antara organisasi atau akademik, jangan sampai. Sudah seharusnya pula para pimpinan yang kita angkat adalah mereka yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, kuat iman dan ilmunya sehingga tidak ada agenda-agenda terselubung untuk mengambil keuntungan pribadi dengan cara kotor melalui wasilah ikatan ini. Harus kita pertegas bahwa tujuan dari IMM itu mewujudkan akademisi bukan politisi yang kerjanya hanya menggunakan kebanggaan merah maroon ini sebagai komiditi jualan kepada penguasa, partai apalagi oligarki!

Menjadi seorang pemimpin berarti harus siap menderita. Apalagi ini adalah ikatannya “kaum intelektual” atau dalam bahasanya Ali Syari’ati adalah rausyan fikr. Suatu keharusan bagi para pemimpin dalam ikatan ini untuk mempunyai planing yang pasti dalam jenjang studinya mulai dari tingkat komisariat sampai pusat, mulai dari S1 sampai kemampuan serta kemauan untuk S2 bahkan S3 dan mengamalkan ilmunya untuk mengabdi di ikatan. Sehingga marwah dari ikatan ini sebagai tempatnya kaum terdidik bukanlah isapan jempol belaka. Bukan hanya bersuka-cita atas kemenangan yang kemudian sebatas “arahan” dari kanda, apalagi kakanda yang membusuk pada kubangan transaksi, hanya menghabiskan waktunya untuk “olah-olah”, tidak mempunyai pekerjaan yang pasti dan gemar mengintervensi untuk kepentingan pribadi! Marilah pada momentum Musyda kali ini mari kita jaga marwah berpersyarikatan dan berikatan, musyawarah yang sehat dan menyehatkan akal, nurani yang bersih dan kejernihan sudut pandang. Kita bawa dan harapkan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Jawa Tengah ini menjadi tempat bagi para kader yang santun, bernurani dan berakal!

Oleh : Annas Firmansyah, S.H.

(Penulis & Aktivis Muhammadiyah Klaten)

Posting Komentar

Akses seluruh artikel dengan mudah melalui smartphone!