Halo IMMawan/ti Selamat Datang!. Informasi Kami.
Postingan

Restorative Justice: apakah efektif mengurangi over kapasitas lapas atau justru membuka ruang "jual beli perkara"?

Oleh : Rahma Fitria Putri Maghrebi, S.H.

Edit photo by canva

Indonesia sedang menghadapi persoalan klasik yang tidak kunjung selesai, Over Kapasitas Lembaga Pemasyaratan. Berdasarkan data Direktorat Jendral Pemasyarakatan mencatat, penghuni lapas dan rutan mencapai lebih dari 269 ribu orang per-Maret 2024, yang pada idealnya hanya sekitar 140 ribu, hal ini juga dapat menghambat fungsi pembinaan.

Untuk menjawab persoalan ini, pemerintas dan aparat penegak hukum mulai mendorong penerapan  Restorative Justice – yakni pendekatan antar korban, pelaku dan masyarakat untuk mencapai perdamaian. Hal inipun mendapat pujian untuk solusi yang humanis sekaligus praktis, karena dapat mengurangi beban pada lapas.

Namun, dibalik pujian tersebut munculah pertanyaan kritis: apakah restoratif justice benar-benar bisa dalam mengatasi kapasitas lapas yang over atau malah membuka ruang ”jual beli perkara” atas dasar perdamaian? Demikianlah yang perlu untuk dibedah untuk mengetahui arah penegakkan hukum di Indonesia.

Restorative justice adalah salah satu prinsip dalam penerapan hukum yang digunakan untuk menyelesaikan kasus dan membantu pemulihan. Prinsip ini telah diterapkan oleh Mahkamah Agung melalui kebijakan yang dieluarkan. Dalam pendekatan ini pastinya melibatkan pelaku, korban, serta pihak-pihak terkait untuk bermusyawarah dalam mencari penyelesaian yang adil yang bertujuan mengembalikan keadaan seperti semula guna memperbaiki hubungan yang rusak akibat tindak pidana serta memberikan kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki diri.

Restorative justice ini merupakan alternatif untuk menyelesaikan kasus tindak pidana, di mana dalam sistem pengadilan pidana, hukuman yang biasa diberikan diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, serta pihak-pihak yang terkait. Restorative Justice sendiri mengutamakan penyelesaian persoalan melalui dialog dan keterlibatan antara pelaku, korban, serta masyarakat untuk berkumpul mencari solusi terbaik, langkah-langkah perbaikan bagi pelaku, dan pemulihan penderitaan yang dialami korban.

Restorative Justice berfokus kepada pertanggung jawaban pelaku yang mengakui kesalahannya dan berkomitmen untuk memperbaiki keadaan yang telah terganggu. Kompensasi untuk korban (termasuk kerugian fisik, psikis, maupun materi) menjadi salah satu perhatian dalam pemulihan kondisi agar kembali normal serta adanya penghampaan dari korban kepada pelaku. Selain itu, salah satu manfaat dari adanya RJ adalah masyarakat dapat berpartisipasi secara aktif dalam mendukung proses pemulihan, tidak hanya melibatkan pelaku dan korban. Penyelesaian melalui RJ juga dapat mencegah stigmatisasi terhadap pelaku dan jauh lebih efisien dalam memastikan hak-hak korban terpenuhi. Implementasi RJ dapat dilihat dalam PerDa Nomor 15 Tahun 2020, PerPol No. 8 Tahun 2021, dan PerMa Nomor 1 Tahun 2024. Aturan-aturan tersebut secara intensif diterapkan untuk menyelesaikan kasus pidana melalui RJ. Objek perbuatan pidana yang dapat diselesaikan melalui RJ termasuk, antara lain, pencurian ringan dengan nilai di bawah Rp 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah), penganiayaan ringan (tanpa menyebabkan cacat atau kematian), delik aduan, pelanggaran lalu lintas ringan, penghinaan ringan, pelakunya anak, serta tindak pidana lain yang ancaman pidananya kurang dari lima tahun, dan bukan residivis. keberadaan Restorative Justice diharapkan dapat mengurangi konflik-konflik kecil, menghindari stigma sosial terhadap pelaku dan korban, serta memenuhi kebutuhan korban yang sering diabaikan dalam proses persidangan di pengadilan.

Mengutip laman MariNews yang menyebutkan dalam sepekan Pengadilan Negeri Jeneponto telah berhasil menyelasaikan perkara melalui Restorative Justice dimana Ketiga perkara tersebut masing-masing tercatat dalam register dengan Nomor 53/Pid.B/2025/PN Jnp dengan nama Terdakwa Tomi Ananda Pradisty Bin Abbas Henrianto Alias Tomi, Nomor 54/Pid.B/2025/PN Jnp dengan nama Terdakwa Muh. Arya Parnoto D. Bin Duruman Alias Arya dan Nomor 67/Pid.B/2025/PN Jnp atas nama Terdakwa Ilham Saputra Soeka Bin Yunus.

Ketiganya merupakan tindak pidana penggelapan yang memenuhi syarat untuk diterapkan pendekatan keadilan restoratif sebagaimana Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restorative.
Hal ini membuktikan bahwa penyelasaian perkara melalui Restoratif Justice dalam pemidanaan tidak hanya bertumpu pada hukuman yang setimpal pada pelaku, namun juga memberikan tanggung jawab kepada pelaku untuk mengupayakan pemulihan korban dengan pendekatarn restorative.

Selain itu, pendekatan Restorative Justice dianggap lebih humanis karena tidak hanya berfokus pada pembalsan dan hukuman tapi juga memberikan kesempatan pemulihan pada korban. Korban tidak hanya sebagai objek dala proses hukum tetapi juga sebagai pihak yang didengarkan suaranya.

Namun, terlepas dari banyak manfaat yang ditawarkannya, penerapan keadilan jika menghadapi kritik dan memungkinkan disalahgunakan titik kekhawatiran utama adalah pada praktiknya yakni penanganan kasus. Selama proses mediasi, korban seringkali dipaksa atau bahkan dipaksa untuk menyetujui penyelesaian dengan imbalan sejumlah uang. Situasi ini dapat dimanfaatkan oleh pejabat tertentu atau pihak lain untuk mendapatkan uang, yang akan menyebabkan keadilan kehilangan maknanya yang sebenarnya.

Selain itu, keadilan restorative dapat menciptakan ketidakadilan bagi korban yang berada dalam situasi yang lebih lemah titik tidak semua korban memiliki keberanian atau kemampuan untuk menolak kesepakatan, terutama jika orang bersalah memiliki lebih banyak uang atau pengaruh sosial. Karena itu, keputusan yang disepakati mungkin bukan berasal dari keinginan yang tulus melainkan dari perasaan tertekan atau ketidakberdayaan.
Keadilan Restorative Justice tidak ditetapkan dengan cara yang sama di berbagai bidang juga menjadi titik masalah setiap tenaga hukum mungkin memiliki pemahaman dan standar yang berbeda, sehingga terdapat kemungkinan besar ketidakadilan dalam penanganan kasus. Hal ini dapat membuat masyarakat kurang percaya pada sistem hukum, karena penyelesaian kasus dianggap tidak lagi berdasarkan aturan yang jelas melainkan pada siapa yang menanganinya.

Selanjutnya, jika tidak diawasi dengan tepat, kekurangannya adalah restoratif dapat menjadi jalan pintas yang mengurangi efek jera dari hukum 4 titik para pelaku kejahatan mungkin berpikir bahwa tindakan mereka dapat diselesaikan dengan "uang tutup mulut", sehingga kemungkinan kesehatan terulang kembali tetap tinggi.

Jika ditinjau, keadilan memang memberikan solusi cepat untuk masalah penjara, tetapi dampaknya tidak dapat dilepaskan dari pengawasan titik lebih sedikit kasus yang dikirim ke pengadilan membantu mengurangi jumlah penghuni penjara titik namun, jika keadilan dilakukan tanpa aturan, hal itu mungkin menimbulkan masalah baru seperti ketidakadilan atau kesepakatan yang meragukan.

Ini berarti keadilan bukanlah obat mujarab untuk semua masalah hukum. Keadilan cocok untuk kejahatan kecil di mana pelakunya yang menunjukkan hati yang tulus. Untuk masalah besar keadilan tidak boleh digunakan untuk menghindari kesalahan, karena hal itu akan merusak aturan dasar hukum dan keadilan bagi mereka yang dirugikan.

Negara seharusnya tidak hanya melihat keadilan sebagai cara yang rapi untuk meredakan stres di penjara titik tetapi juga sebagai alat untuk membangun kepercayaan pada hukum dengan memastikan perdamaian itu gratis dan tidak bisa direbut.

Kita juga patut untuk memuji keadilan restorative Justice sebagai perubahan hukum yang unik, yang lebih mementingkan perbaikan daripada sekedar pembalasan. Dengan terlalu banyaknya orang di penjara, langkah ini membantu meringankan beban dan memungkinkan keadilan yang lebih baik.

Namun, penyalahgunaan bisa saja terjadi titik jika tidak ada yang mengawasi dengan ketat, keadilan restorative bisa menjadi hal yang merugikan nama baik peradilan titik jadi, penerapannya harus dibatasi pada tindak pidana ringan yang dilakukan secara transparan, diawasi oleh lembaga independen agar tidak diselewengkan.

Dengan demikian keadilan restoratif bukan sebagai solusi yang cepat, tetapi juga sebagai alat lain untuk membantu Sistem peradilan Pidana titik jika dilakukan dengan benar kokoh keadilan secara aktif dapat menghubungkan keadilan formal dan keadilan nyata. Dan memperbaiki masalah penjara tanpa merusak marwah hukum.

Editor: Bidang Riset Pengembangan Keilmuan PC IMM Ahmad Dahlan Kota Surakarta 

Posting Komentar

Akses seluruh artikel dengan mudah melalui smartphone!