Halo IMMawan/ti Selamat Datang!. Informasi Kami.
المشاركات

"Mental Health: Barang Hilang di Meja Sekretariat"

Oleh: Andifa Nurasyam Zuhdi

Gambar by Gemini.ai

Selamat datang di dunia organisasi modern: tempat rapat panjang bukan sekadar agenda, tapi ritual. Ritual yang mengajarkan kita tersenyum saat lelah, mengangguk saat bingung, dan mengulang jargon yang sama setiap minggu “solidaritas,” “inovatif,” “peduli” seolah mantra sakral. Mental health? Entah terselip di binder laporan, di bawah stapler, atau hilang di pojok printer yang berisik. Barang penting ini hilang di meja sekretariat, tapi semua orang berpura-pura tidak melihat.

Setiap rapat dimulai dengan salam hangat: “Selamat datang, kita satu tim!” Semua tersenyum, semua antusias. Tapi di balik itu, ada yang diam-diam menatap langit-langit, bertanya: “Apakah aku sedang gila karena masih bertahan di sini?” Barang yang hilang itu adalah mental health kita yang jarang disentuh, tapi selalu ditagih setiap kali ada laporan kegiatan.

Jargon organisasi menari di udara, tapi peduli hanya berlaku untuk program. “Kita harus solid, inovatif, kreatif!” kata pengurus dengan penuh semangat. Tapi siapa peduli ketika seseorang mengaku lelah? Siapa yang menengok saat burnout menumpuk di kursi pojok? Diam kadang dianggap apatis, padahal itu bentuk perlindungan diri.

Fenomena unik: orang yang paling cerewet selalu menang. Mereka berbicara nonstop, mengulang jargon, memamerkan ide yang kadang setengah matang, tapi diterima karena penuh percaya diri. Di sisi lain, yang diam, menatap buku catatan kosong, dianggap tidak peduli. Ironisnya, diam itu merupakan satu-satunya cara untuk bertahan.

Di meja sekretariat, piala berjejer rapi, prestasi dipamerkan, foto kegiatan diunggah di Instagram. Caption penuh semangat: “Tim kita kompak, energi luar biasa!” Tapi siapa yang melihat retakan di hati anggota? Siapa yang peduli dengan air mata yang terselip di pojok ruangan? Barang yang hilang oh mental health yang tidak muncul di laporan kegiatan, tidak ada di KPI, hanya terselip di celah antara birokrasi dan panggung sandiwara.

Agenda rapat panjang, tapi substansi minim. Laporan kegiatan dibacakan, ide dibahas, tapi tidak ada yang menanyakan: “Bagaimana perasaanmu hari ini?” Semua sibuk mengejar target, mengejar progres, mengejar publikasi, tapi lupa mengejar hal mendasar: keberadaan diri sendiri. Ironisnya, kalau ada yang mulai jujur mengaku lelah, tiba-tiba ruangan terasa sempit, penuh tatapan yang sulit ditafsirkan, seakan berkata: “Maaf, di sini hanya ada ruang untuk senyum, bukan air mata.”

Keramaian yang seharusnya menyatukan justru menegaskan kesepian. Foto bersama? Ada. Tepuk tangan? Ada. Mendengarkan dengan sungguh-sungguh? Tidak. Semua orang sibuk menjadi aktor di panggung sendiri, menunggu tepuk tangan untuk program, bukan untuk hati yang sedang retak.

Dan jangan lupakan media sosial: foto rapat ramai, caption penuh semangat, like menumpuk. Tapi di balik layar, siapa peduli dengan anggota yang diam di pojok, berharap ada yang bertanya: “Apa kabarmu hari ini?” Semua sibuk tampil kompak, tapi jarang hadir untuk satu sama lain. Mental health? Barang yang hilang itu tampak seperti lelucon yang terus diulang: kita tahu hilang, tapi pura-pura tidak peduli.

Kita belajar menelan lelah. Tersenyum saat ingin menangis. Berakting riang saat ingin berteriak. Menjadi volunteer tulus tapi sering berakhir menjadi korban kebisingan dan birokrasi. Burnout dianggap normal. Kesepian dianggap bagian dari kedewasaan. Mengabaikan diri sendiri? Itu prosedur standar.

Dan lucunya, setiap kali pengurus mengingatkan tentang “kesejahteraan anggota,” semua tersenyum. Pidato panjang, jargon manis, tapi implementasinya nihil. Mental health hanya muncul di slide terakhir presentasi, tulisannya kecil, nyaris tak terbaca dan persis seperti kita semua yang diam-diam merasa sepi di tengah keramaian.
Gambar by Gemini.ai

Absurdnya lagi, rapat kadang diadakan hanya untuk rapat. Tanpa keputusan, tanpa makna, tanpa kejujuran. Agenda panjang dibacakan, tapi substansi minim. Waktu yang terbuang itu bisa dipakai tidur, jalan santai, atau sekadar menghirup udara tanpa tekanan. Tapi tidak, kita dipaksa hadir, berpura-pura peduli, sambil berharap tidak ada yang menyadari kita perlahan hancur di dalam.

Namun tetap ada harapan. Satu langkah kecil: berhenti sejenak. Menatap meja sekretariat bukan untuk mengecek dokumen, tapi mengecek hati sendiri. Bertanya: “Apa aku baik-baik saja?” Menyadari bahwa kesehatan mental bukan barang yang hilang, tapi sesuatu yang harus dicari, dijaga, dan diakui keberadaannya.

Kita bisa mulai dengan hal kecil: mendengarkan tanpa menghakimi, menanyakan kabar teman, hadir tanpa pura-pura. Hal kecil itu bisa berarti dunia bagi mereka yang merasa terasing di tengah keramaian. Barang yang hilang itu bisa ditemukan kembali: melalui self-care, keberanian mengakui lelah, dan ketulusan mendengar.

Di akhir hari, setelah rapat usai dan semua pulang, jangan biarkan diri tetap hilang. Jangan biarkan senyum palsu menutupi retak di dalam. Barang hilang itu mungkin mental health yang harus kembali ke tempatnya, di hati kita sendiri.

Suatu hari nanti, kita bisa ikut rapat, tersenyum, dan tetap utuh. Kita bisa berorganisasi tanpa kehilangan diri sendiri. Tanpa harus menelan lelah diam-diam, tanpa membiarkan retakan hati tersembunyi. Dan yang paling penting: mental health kita, barang yang hilang di meja sekretariat, kembali ditemukan. Karena organisasi yang sesungguhnya bukan panggung sandiwara, tapi ruang di mana manusia tetap utuh, hadir, dan hidup sepenuhnya.

Penulis: Andifa Nurasyam Zuhdi, Ketua Umum PK IMM Azhar Basyir 
Editor: Bidang Riset Pengembangan Keilmuan PC IMM Ahmad Dahlan Kota Surakarta 

إرسال تعليق

Akses seluruh artikel dengan mudah melalui smartphone!