Halo IMMawan/ti Selamat Datang!. Informasi Kami.
المشاركات

"Neo-Feodalisme dalam Lingkungan Agama: Ketika Kritik Dianggap Ancaman"

KETIKA KRITIK DIANGGAP ANCAMAN
Oleh: Andifa Nurasyam Zuhdi -PK IMM AZHAR BASYIR

gambar by gemini.ai 

Beberapa hari lalu, jagat maya kembali gaduh. Sebuah tayangan televisi menampilkan kehidupan di sebuah lembaga pendidikan agama, yang bagi sebagian orang dianggap menyerang kehormatan dan melecehkan simbol agama. Reaksi pun muncul beruntun: seruan boikot, kemarahan kolektif, hingga sumpah serapah terhadap media yang dianggap tidak sopan. Namun di balik riuh itu, ada pertanyaan yang lebih dalam: apakah semua kritik terhadap lembaga agama harus dianggap penghinaan?

Kita hidup di era di mana segala hal mudah tersulut. Setitik perbedaan pandangan bisa dianggap penghinaan, dan sedikit sorotan bisa dituduh sebagai penistaan. Padahal, bila direnungkan dengan hati jernih, tayangan itu sesungguhnya tidak sedang menertawakan iman, melainkan memperlihatkan kenyataan sosial yang selama ini disembunyikan di balik tembok kesalehan. Sebagian orang tersinggung bukan karena isi kritiknya salah, tapi karena cermin yang ditampilkan terlalu jujur.

Di sinilah wajah baru feodalisme bersembunyi, neo-feodalisme dalam agama. Bukan lagi dalam bentuk kerajaan dan tahta, melainkan dalam bentuk status dan kesakralan yang dilekatkan pada institusi atau tokoh agama tertentu. Feodalisme lama menuntut rakyat untuk tunduk pada bangsawan, sedangkan feodalisme baru menuntut masyarakat untuk tunduk tanpa bertanya, atas nama iman dan penghormatan. Perbedaannya hanya satu: yang dulu mengaku keturunan darah biru, yang sekarang mengaku pewaris kebenaran ilahi.

Kritik terhadap perilaku manusia dianggap sebagai serangan terhadap Tuhan. Padahal, agama tidak butuh pembelaan dari amarah, sebab kebenaran sejati tak akan roboh hanya karena diperiksa. Yang sebenarnya takut bukanlah Tuhan, melainkan ego manusia yang merasa mewakili-Nya. Dan di sinilah letak bahaya moral itu: ketika rasa suci dijadikan tameng untuk menolak koreksi, maka yang tumbuh bukanlah ketakwaan, melainkan kesombongan yang berjubah iman.

Dalam catatan sejarah Islam, para ulama besar justru membuka pintu lebar bagi perbedaan dan kritik. Imam Malik, ketika ditanya muridnya tentang kesempurnaan kitab Al-Muwaththa’, menjawab rendah hati, “Segala yang benar bisa diambil, dan segala yang keliru bisa dikoreksi, sekalipun itu dari aku.” Sementara Al-Ghazali menulis dalam Ihya’ Ulumuddin bahwa kesalahan ulama lebih berbahaya dari seribu kesalahan awam, sebab ilmunya menjadikannya berkuasa atas hati manusia.

Pernyataan itu terasa hidup kembali hari ini, saat sebagian tokoh agama begitu cepat menolak kritik, tapi begitu lambat mengoreksi diri. Sebagian lingkungan keagamaan masih terperangkap dalam pola pikir lama, di mana usia dan status dianggap lebih tinggi dari akal sehat dan moral publik. Ada adagium tak tertulis, yang muda wajib diam, yang tua tak boleh disanggah. Padahal, bila semua diam, maka kesalahan akan menjadi tradisi. Bila semua takut bicara, maka kebenaran akan menjadi korban dari rasa sungkan.
Neo-feodalisme dalam agama muncul ketika nilai ta’zim berubah menjadi taqlid buta. Saat penghormatan bergeser menjadi ketakutan. Ketika yang muda dilarang bertanya, dan yang tua menolak ditanya. Padahal, penghormatan sejati justru lahir dari ruang dialog, bukan dari keheningan yang dipaksakan.

Nurcholish Madjid pernah mengatakan bahwa agama yang tidak mau dikritik akan mudah tergelincir menjadi ideologi kekuasaan. Ungkapan ini terasa begitu nyata saat sebagian orang menjadikan status keagamaan sebagai benteng untuk menolak keterbukaan. Padahal, seperti kata Quraish Shihab, kebenaran tidak pernah takut diperiksa, sebab yang takut dikritik biasanya bukan kebenaran, melainkan kepentingan yang bersembunyi di baliknya.

Gerakan moral bukan tentang siapa yang berani melawan, tapi siapa yang berani berkata jujur demi kebaikan. Karena pada akhirnya, agama yang menolak kritik akan kehilangan rohnya. Ia menjadi beku, sakral tapi kering, suci tapi sunyi dari makna. Sementara agama yang berani menatap kritik akan tumbuh menjadi lembaga yang benar-benar manusiawi: lembut, terbuka, dan sadar bahwa kebenaran adalah ruang bersama.

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah mengingatkan, kritik terhadap lembaga agama bukan berarti membenci agama. Justru dengan kritik, agama bisa terus hidup dan membersihkan dirinya dari kerak kekuasaan. Kritik bukanlah bentuk kebencian, melainkan bukti cinta yang berani berkata jujur.

Kita tidak sedang menyerang agama. Justru kita sedang berusaha menyelamatkannya dari tangan-tangan manusia yang menggunakannya sebagai benteng ego. Kita tidak sedang menghina lembaga suci. Kita sedang mengingatkan bahwa kesucian hanya bisa bertahan bila ia mau dibersihkan. Dan kita tidak sedang menolak tradisi. Kita hanya ingin memastikan bahwa tradisi tidak membunuh akal sehat.

Agama sejatinya bukan menara gading yang menuntut sujud, tetapi jalan sunyi yang menuntun pada cahaya. Maka ketika ada yang berani mengkritik, dengarkanlah. Sebab bisa jadi, yang berbicara itu bukan sedang menantang, tapi sedang mengingatkan bahwa dalam setiap sorotan, selalu ada cinta yang ingin melihat kita tetap jujur.

Ali bin Abi Thalib pernah berkata, "siapa yang menunjukkan kesalahanku, maka dia adalah sahabatku yang sejati.
Dan barangkali, dalam dunia yang semakin bising oleh pembenaran, yang kita butuhkan bukan lebih banyak pengikut, tapi lebih banyak sahabat semacam itu. Mereka yang berani menunjukkan salah, bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk menjaga agar cahaya kebenaran tidak padam.

Editor: Bidang Riset Pengembangan Keilmuan PC IMM Ahmad Dahlan Kota Surakarta 

إرسال تعليق

Akses seluruh artikel dengan mudah melalui smartphone!