Halo IMMawan/ti Selamat Datang!. Informasi Kami.
المشاركات

Diplomasi Prabowo di PBB: Dari Absen 10 Tahun hingga Strategi Realpolitik Baru

"Diplomasi Prabowo di PBB: Dari Absen 10 Tahun hingga Strategi Realpolitik Baru"
Penulis: Rahma Fitria Putri Maghrebi, S.H.

Dunia menyaksikan kembali suara Indonesia di forum Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Setelah sepuluh tahun absen, Indonesia akhirnya kembali berbicara di hadapan dunia internasional melalui pidato Presiden Prabowo Subianto. Bagi sebagian orang, ini mungkin tampak sebagai agenda rutin seorang kepala negara. Namun bagi mereka yang mencermati arah politik luar negeri, ini adalah momentum strategis yang sarat makna, bahkan bisa menjadi tonggak baru bagi diplomasi Indonesia.
Kembalinya Indonesia di bawah Prabowo memiliki resonansi historis. Tujuh dekade lalu, ayahnya, Soemitro Djojohadikusumo, juga pernah berbicara di forum PBB. Sejarah seakan menemukan irama barunya. Jika dahulu Soemitro tampil di tengah ketegangan Perang Dingin, kini Prabowo hadir di era dunia yang tak kalah terbelah: perang Rusia-Ukraina, ketidakpastian di Timur Tengah, perubahan iklim yang menghantam negara-negara berkembang, serta persaingan tajam antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

Diplomasi Prabowo menghadirkan sesuatu yang berbeda. Ia dikenal lugas, tidak berputar dalam retorika panjang, dan berorientasi pada hasil. Sejak awal, ia menegaskan bahwa Indonesia tidak boleh terjebak dalam blok ideologis mana pun. Diplomasi, bagi Prabowo, adalah seni menjaga martabat bangsa sembari memastikan kepentingan nasional tetap di depan. Di PBB, gaya realpolitik ini akan terlihat: Indonesia akan tampil sebagai negara yang mampu menjaga prinsip bebas aktif, tetapi dengan langkah lebih tegas, lebih elok, dan lebih berani menyuarakan kepentingan riil rakyatnya.

Strategi diplomasi Prabowo tidak berhenti pada jargon klasik. Ia menyadari bahwa tantangan global tidak bisa dijawab dengan retorika moral belaka. Keamanan pangan, kemandirian energi, akses kesehatan, serta perdamaian dunia adalah isu yang akan menentukan masa depan umat manusia. Jika selama ini Indonesia lebih sering menyuarakan posisi normatif, Prabowo diperkirakan akan mengarahkan diplomasi pada tindakan yang lebih konkret. Indonesia bukan hanya bicara tentang perdamaian, tetapi juga menawarkan kontribusi nyata melalui pasukan penjaga perdamaian, kerja sama teknologi pertanian, hingga diplomasi pangan yang dapat mengurangi kesenjangan global.

Langkah diplomasi Prabowo juga memperlihatkan kesadaran bahwa dunia kini bergerak menuju multipolaritas. Tidak ada satu kekuatan tunggal yang mampu menentukan arah. Di tengah perebutan pengaruh Amerika Serikat dan Tiongkok, Indonesia berpeluang tampil sebagai kekuatan menengah yang independen, dihormati, dan diperhitungkan. Di sinilah letak eloknya diplomasi Prabowo: bukan dengan mengumbar sikap konfrontatif, melainkan dengan meneguhkan peran Indonesia sebagai jembatan yang bisa dipercaya semua pihak. Bagi rakyat Indonesia, pidato ini lebih dari sekadar penampilan di panggung internasional. Ini adalah pesan bahwa negara hadir, bahwa Indonesia tidak lagi diam di tengah krisis global. Kembalinya Indonesia ke PBB lewat Prabowo adalah simbol kebangkitan diplomasi, sebuah sinyal bahwa suara bangsa ini kembali lantang, membawa aspirasi negara berkembang, sekaligus menjaga kepentingan rakyatnya sendiri.

Prabowo mungkin bukan orator flamboyan, tetapi kejujurannya dalam berbicara, ditambah sikap realistisnya, justru bisa menjadi nilai lebih. Dunia sedang lelah dengan retorika kosong. Yang dibutuhkan adalah pemimpin yang tegas, yang mampu menyampaikan gagasan sederhana namun berdampak. Di situlah diplomasi Prabowo menemukan tempatnya.

Sejarah akan mencatat, apakah kehadiran ini hanya menjadi momentum sesaat atau menjadi awal dari arah baru politik luar negeri Indonesia. Yang jelas, setelah sepuluh tahun absen, kembalinya Indonesia di bawah Prabowo di forum PBB bukan hanya tentang mengulang jejak ayahnya, tetapi tentang menegaskan peran baru Indonesia di panggung dunia: diplomasi yang elok, realistis dan berpihak pada rakyat.

Absennya Indonesia selama satu dekade tentu membuat Indonesia kehilangan banyak kesempatan emas. Banyak negara kecil yang mengambil manfaat dalam panggung global selama ketiadaan Indonesia di panggung global. Tentu hal ini menjadi hal yang mengiris namun juga realita bahwa Indonesia sedang melemah waktu itu. Resonansi sejarah juga membuat momentum ini semakin istimewa. Nama Soemitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo, tidak asing dalam sejarah politik dan ekonomi Indonesia. Tujuh dekade lalu, ia berbicara di forum PBB dengan membawa semangat Indonesia muda yang baru saja berdiri sebagai bangsa merdeka. Kini, Prabowo hadir sebagai presiden dari negara yang sudah matang secara politik, sekaligus sedang mencari arah baru dalam dunia yang berubah cepat. Ada kesinambungan, tetapi juga ada pembaruan. Dari seorang ayah teknokrat ke anak yang kini menjadi kepala negara, perjalanan ini memberi bobot simbolis yang jarang dimiliki negara lain.

Dalam forum ini, dunia tentu menunggu sikap Indonesia terhadap isu-isu besar. Palestina masih menjadi luka lama di Timur Tengah, sementara perang Rusia-Ukraina terus menekan stabilitas global. Indonesia juga diharapkan mengambil posisi jelas dalam isu perubahan iklim yang menghantam negara-negara berkembang, termasuk ancaman terhadap ketahanan pangan. Jika Prabowo mampu menghubungkan isu global ini dengan kepentingan nasional Indonesia, diplomasi kita akan terlihat relevan sekaligus visioner.

Manfaat dari diplomasi seperti ini tidak berhenti di ruang sidang. Bayangkan, jika Prabowo berhasil mengangkat isu pangan di PBB, maka Indonesia berpotensi membuka akses kerja sama internasional dalam teknologi pertanian, subsidi pupuk, hingga perdagangan beras yang lebih adil. Jika ia menekankan stabilitas energi, maka peluang investasi dalam energi terbarukan bisa semakin deras masuk. Bahkan, jika Indonesia tampil sebagai juru damai dalam konflik global, citra ini bisa meningkatkan kepercayaan internasional yang berujung pada kemudahan akses modal untuk pembangunan. Singkatnya, diplomasi di PBB adalah jembatan konkret bagi kesejahteraan rakyat.
Kekuatan diplomasi Prabowo justru terletak pada gayanya yang tidak rumit. Ia bukan tipikal pemimpin yang membalut kata-kata dengan retorika tinggi, melainkan menyampaikan pesan secara langsung, tegas, dan sederhana. Gaya ini, jika ditempatkan di forum PBB, justru bisa menjadi keunggulan. Dunia sedang jenuh dengan pidato panjang penuh jargon, tetapi miskin substansi. Kehadiran pemimpin yang berbicara dengan apa adanya, sambil menekankan kepentingan rakyatnya, bisa mencuri perhatian lebih kuat daripada orasi flamboyan.

Dalam sejarah diplomasi Indonesia, ada banyak momen ketika kita hanya hadir sebagai pengisi formalitas. Kini, dengan Prabowo, publik berharap lebih. Bahwa pidato ini bukan sekadar tanda “Indonesia kembali hadir”, melainkan sinyal bahwa kita datang dengan strategi baru, dengan sikap yang lebih berani, dan dengan kesadaran penuh akan posisi Indonesia sebagai kekuatan menengah yang diperhitungkan.

Jika momentum ini benar-benar dimanfaatkan, maka “Diplomasi Prabowo di PBB” akan tercatat bukan hanya sebagai seremoni tahunan, tetapi sebagai titik balik yang membuat dunia kembali menghormati suara Indonesia. Dari absen sepuluh tahun hingga pengulangan sejarah tujuh dekade, kini bangsa ini berdiri lagi dengan keyakinan bahwa diplomasi bisa dijalankan dengan cara yang elok, realistis, dan menguntungkan rakyat.

Editor: Bidang Riset Pengembangan Keilmuan PC IMM Ahmad Dahlan Kota Surakarta

إرسال تعليق

Akses seluruh artikel dengan mudah melalui smartphone!