Purbaya Effect: Janji Pemberdayaan atau Oligarki Finansial Baru?
Penulis: Rahma Fitria Putri Maghrebi, S.H.
Dalam dunia kebijakan ekonomi Indonesia, nama Menteri Purbaya Yudhi Sadewa kini mulai menjadi sorotan. Ia dikenal sebagai sosok teknokrat yang dipercaya Presiden mengatur jalannya lembaga pengelola investasi dan kebijakan strategis di sektor finansial. Namun, kepercayaan besar itu disertai pula dengan gelontoran dana jumbo ratusan triliun rupiah yang dititipkan pemerintah untuk menopang kredit dan memacu pertumbuhan ekonomi. Pertanyaan kritis pun muncul: sejauh mana “Purbaya Effect” benar-benar menjadi jalan pemberdayaan rakyat, dan sejauh mana ia justru berpotensi melahirkan oligarki finansial baru?
Beberapa bulan terakhir, publik mendengar istilah yang makin sering dibicarakan: Purbaya Effect. Istilah ini merujuk pada arah kebijakan ekonomi Menteri Purbaya—terutama soal kucuran dana ratusan triliun rupiah lewat bank-bank BUMN (HIMBARA) untuk membiayai UMKM dan koperasi merah putih.
Di permukaan, kebijakan ini terdengar indah. UMKM disebut-sebut sebagai tulang punggung ekonomi bangsa, bahkan penyelamat saat krisis. Maka ketika pemerintah mengumumkan dana besar untuk menghidupkan mereka, siapa yang tidak setuju? Tapi pertanyaannya: apakah uang sebesar itu benar-benar sampai ke rakyat kecil, atau hanya berputar di lingkaran elite finansial?
UMKM di Indonesia memang selalu dipuji: menyumbang lebih dari 60 persen PDB, menyerap lebih dari 90 persen tenaga kerja, dan relatif tangguh saat ekonomi goyah. Tetapi masalah mereka bukan pujian, melainkan keterbatasan. Dari modal, teknologi, hingga akses pasar, mayoritas UMKM masih terjebak dalam lingkaran kecil. Di sinilah Purbaya Effect masuk: dana raksasa yang seolah akan menjadi jawaban.
Namun, mari kita lihat lebih jernih. Pertama, bank BUMN punya sifat konservatif: lebih suka memberi pinjaman kepada yang aman, punya agunan, dan catatan keuangan rapi. Lalu, bagaimana dengan pedagang kaki lima? Bagaimana dengan petani kecil? Bagaimana dengan nelayan tradisional? Besar kemungkinan mereka justru tersisih, karena “terlalu berisiko” di mata perbankan. Uang besar akhirnya hanya dinikmati segelintir UMKM kelas menengah atau bahkan perusahaan besar yang dipoles sebagai “koperasi.”
Kedua, ada ancaman oligarki finansial. Jika semua akses pembiayaan rakyat dikendalikan oleh segelintir bank pelat merah, maka UMKM akan makin tergantung pada struktur yang tidak mereka kuasai. Alih-alih berdaya, mereka hanya jadi obyek dari politik kredit. Ini bukan kemandirian, melainkan ketergantungan baru yang lebih berbahaya.
Ketiga, soal transparansi. Kita semua tahu, dana jumbo dalam sejarah pembangunan Indonesia sering bocor di jalan. Ada biaya siluman, ada kepentingan politik, ada elitisme yang menutup akses. Rakyat hanya melihat angka fantastis di televisi, tetapi tidak pernah merasakan dampaknya di lapangan.
Padahal, rakyat kecil tidak butuh jargon miliaran atau triliunan. Mereka butuh pembiayaan sederhana yang bisa diakses tanpa prosedur berlapis, tanpa jaminan yang mustahil dipenuhi, dan tanpa bunga mencekik. Mereka juga butuh pasar yang terjamin, perlindungan dari tengkulak, serta pendampingan usaha. Singkatnya: butuh ekosistem, bukan sekadar kucuran uang.
Dalam teori pembangunan, ada tiga syarat agar kebijakan ekonomi betul-betul memberdayakan: akses, keberlanjutan, dan kemandirian. Akses berarti dana bisa menjangkau yang paling kecil dan terpinggirkan. Keberlanjutan berarti ada pendampingan, pelatihan, serta dukungan infrastruktur. Kemandirian berarti UMKM bisa tumbuh tanpa ketergantungan pada kredit negara. Sayangnya, arah kerja Menteri Purbaya saat ini masih belum jelas memenuhi tiga syarat itu.
Yang tampak justru euforia angka: Rp 200 triliun, Rp 300 triliun, dan seterusnya. Seolah-olah, makin besar angka, makin besar manfaat. Padahal pengalaman membuktikan: uang besar tanpa desain kelembagaan yang kuat hanya menghasilkan “ekonomi fatamorgana.” Indah dari jauh, tapi menguap begitu dana berhenti.
Bandingkan dengan India dan Bangladesh. Kedua negara ini berhasil memberdayakan usaha kecil melalui sistem kredit mikro berbasis komunitas, seperti Grameen Bank. Kuncinya bukan pada besarnya dana, melainkan pada keberpihakan desain: langsung ke rakyat kecil, minim birokrasi, dengan pendampingan intensif. Sementara di Indonesia, dana besar justru dititipkan pada bank-bank yang selama ini lebih dekat dengan kalangan menengah ke atas. Di sinilah letak bahayanya Purbaya Effect: rakyat kecil lagi-lagi hanya jadi objek, bukan subjek.
Narasi koperasi merah putih memang terdengar heroik. Namun, koperasi sejati adalah lembaga yang tumbuh dari, oleh, dan untuk anggota. Kalau koperasi hanya dipakai sebagai label untuk proyek ekonomi elite, maka Purbaya Effect akan berakhir sama dengan kebijakan sebelumnya: banyak jargon, minim hasil.
Rakyat tidak butuh ilusi. Mereka butuh bukti nyata bahwa pemerintah serius memperkuat ekonomi rakyat, bukan hanya memperkuat bank pelat merah. Karena itu, arah kerja Menteri Purbaya harus diawasi ketat. Jangan sampai janji pemberdayaan rakyat kecil berubah menjadi instrumen oligarki finansial baru.
Apa jalan keluarnya? Pertama, pemerintah harus memastikan distribusi dana tidak hanya lewat bank BUMN, tapi juga lewat lembaga keuangan mikro, koperasi lokal, dan komunitas ekonomi rakyat. Kedua, pendampingan usaha harus jadi program inti: kredit tanpa pendampingan hanya menambah utang. Ketiga, transparansi mutlak. Publik perlu tahu siapa yang mendapat kucuran dana, bagaimana dampaknya, dan sejauh mana kebijakan ini betul-betul menyentuh lapisan terbawah.
Purbaya Effect bisa menjadi momentum emas untuk mengubah wajah ekonomi Indonesia—jika keberpihakan nyata pada rakyat kecil dijalankan. Tetapi jika hanya berujung pada kucuran dana yang menguntungkan segelintir pihak, sejarah akan mencatatnya sebagai kebijakan yang gagal. Dan rakyat, sekali lagi, hanya menjadi penonton dari janji-janji besar yang tak pernah menyentuh kehidupan mereka.
Editor: Bidang Riset Pengembangan Keilmuan PC IMM Ahmad Dahlan Kota Surakarta